Saturday 27 February 2010

HAKIAKT ADAM - Fatchurrachman.blogspot.com

Tentang Ketaatan dan Pembangkangan

Sahabat, setelah kita merenungkan tiga ayat sekaligus yang bercerita tentang nama-nama, maka marilah hari ini kita merenungkan masalah lain yang berkaitan dengan sikap taat melaksanakan perintah Allah, dan lawannya, yaitu sikap membangkang. Ketaatan dan pembangkangan atas perintah Allah ini menjadi hal yang sangat niscaya terjadi pada mahlukNya, terutama pada manusia sebagai khalifahNya.


Mari kita perhatikan ayat ini : Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. ( QS 2 : 34 ).

Ayat ini diberi catatan kaki, khususnya untuk menjelaskan perintah bersujud sebagai berikut : sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

Ayat ini mengabarkan kepada kita tentang banyak hal, yang kalau kita selami dengan kesadaran spiritual yang tinggi, akan menuntun kita semakin menyadari betapa sentralnya peranan manusia dalam percaturan hidup antarmahluk Tuhan.

Mula-mula Allah memerintah kepada para malaikat. Harap dicatat Sahabat, perintah kepada para malaikat. Perintah itu berbunyi : "Sujudlah kamu kepada Adam." Atas perintah ini serta merta para malaikat bersujud sebagai gambaran perwujudan taat menjalankan perintah Allah. Tetapi tiba-tiba Allah memunculkan tokoh lain, yaitu Iblis yang enggan melaksanakan perintah dan takabur, sehingga kemunculannya pun layak untuk dicermati.

Pertama, apakah Iblis itu – semula – adalah golongan malaikat. Tetapi karena mereka enggan melaksanakan perintah, maka kelompok pembangkang itu oleh Allah diberi sebutan lain yaitu Iblis ?

Kedua, Malaikat dan Iblis adalah mahluk Allah yang tidak memiliki ujud materi, atau, mereka adalah golongan mahluk tak berjasad, sehingga ada pemahaman bahwa keduanya itu berupa cahaya (Malaikat) dan api (Iblis). Iblis sendiri mengakui hal itu dengan ucapannya : Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". ( QS 38 : 76 ).

Mereka (Iblis) berkata demikian, artinya mereka tahu bahwa dirinya diciptakan dari api, juga karena Allah yang memberitahukan : Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. ( QS 15 : 27 ).

Memang, dalam ayat itu Allah menyebut Jin, bukan Iblis, tetapi keduanya adalah mahluk ciptaan Allah yang tidak berjasad. Keduanya dinisbatkan berasal dari api. Jika ada pemahaman bahwa di kalangan Jin itu pun terdapat kelompok yang baik, hal itu menjadi informasi bagi kita agar manusia selektif dan cermat ketika memasuki atau menempuh perjalanan spiritual.

Ketiga, Malaikat dan Iblis itu sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang ada atau bersemayam dalam diri manusia. Malaikat adalah sisi atau wajah terang qolbu manusia, sedangkan Iblis dan anak keturunannya adalah sisi atau wajah gelap qolbu manusia. Keduanya senantiasa bergumul dalam pergumulan yang panjang dan seru serta saling mengalahkan. Pergumulan inilah yang oleh Rasulullah saw disebut sebagai jihad al-akbar, agar diri manusia sejati yang berasal dari tiupan Allah itu senantiasa menghadapkan wajahnya kepada Sang Maha Cahaya, yaitu Allah.

Sahabat, apakah kalian dapat menangkap betapa ayat ini sesungguhnya merupakan perintah agar kita senantiasa berupaya keras tetap berada dalam ketaatan ? Walaupun di sini Allah menceritakan perintahNya kepada Malaikat (dan Iblis) untuk bersujud – dalam arti menghormat – kepada Adam, dalam praktek hidup kekinian kita, perintah tersebut merupakan perintah kepada setiap manusia untuk tetap berada dalam ketaatan.

Malaikat dan Iblis yang diceritakan oleh Allah dalam ayat ini menjadi simbol dari wajah terang (karena selalu menghadapkan wajah kepada Sang Maha Cahaya) dan wajah gelap (karena ingkar/kufur/berpaling dari Sang Maha Cahaya). Simbolisasi itu menjadi amat jelas dengan sikap keduanya (Malaikat dan Iblis) dalam menerima perintah Allah. Malaikat – karena mereka selalu menghadapkan wajah kepada Allah – menerima dan melaksanakan perintah dengan taat. Sementara Iblis – karena berpaling dari Allah – menerima perintah tetapi tidak melaksanakan.

Malaikat pun merupakan simbolisasi dari penglihatan mahluk yang tidak terhijab dari memandang wajah Allah, sehingga mereka mampu memandang dan memahami semua ciptaan dan perintah Tuhan sampai ke hakikat terdalamnya. Itulah sebabnya, mereka selalu melaksanakan setiap perintah dengan sami’na wa atho’na – saya mendengar dan saya taat – untuk melaksanakan perintah itu. Bahkan mereka tidak merasa rendah harus menghormati Adam, karena mereka tahu hakikat Adam.

Sebaliknya adalah Iblis yang merupakan simbolisasi dari penglihatan mahluk yang terhijab dari memandang wajah Allah, sehingga mereka gagal memandang dan memahami hakikat terdalam dari ciptaan Tuhan dan perintah-perintahNya. Itulah sebabnya, Iblis merasa lebih baik dan lebih mulia dari Adam, sehingga mereka menolak menghormati Adam, karena tidak tahu hakikat Adam.

Sahabat, marilah kita sadari bersama hal ini sebagai pelajaran yang amat berharga bagi kita sebagai salah satu upaya untuk menundukkan ego kita. Sebab telah nyata bagi kita – dengan merenungkan ayat 34 surat Al-Baqarah – bahwa ketaatan hanya dapat dibangun di atas pondasi ma’rifatullah yang menyebabkan pandangan bashiroh kita tidak terhalang dari wajah Allah sebagaimana disimbolkan melalui malaikat. Jika bashiroh kita terbuka – sehingga tidak buta – maka Allah akan memberikan kepada kita pemahaman hakikat yang terdalam dari setiap mahlukNya dan perintahNya.

Nabi Muhammad saw adalah suri teladan bagi manusia karena ma'rifatnya yang sempurna sehingga digambarkan betapa akrab "pertemanannya" dengan Jibril (malaikat) bahu membahu melaksanakan ketaatan kepada Allah. Hal itu terjadi karena keduanya adalah gambaran utuh tentang mahluk Allah yang penglihatan bashirohnya tidak terhijab dari memandang Allah. Tidak mengherankan, jika Jibril senantiasa datang pada saat-saat yang diperlukan untuk "membantu" Nabi Muhammad saw dalam memberikan pencerahan spiritual kepada para pengikutnya. Seringkali dikisahkan malaikat Jibril datang dalam bentuk manusia untuk menanyakan sesuatu kepada Nabi Muhammad saw ketika ia berada di tengah-tengah umat. Jawaban Nabi atas pertanyaan itu merupakan pelajaran dan sekaligus perintah yang harus dilaksanakan dengan penuh ketaatan oleh umat Muhammad.

Sementara itu kegagalan Iblis dalam membangun ketaatan melaksanakan perintah Tuhan itu pun disebabkan oleh ketiadaan ma'rifat. Ia disebut kufur - membelakangi Cahaya - Allah sehingga yang dipandangnya pun tidak ada kecuali kegelapan. Dia gagal memahami hakikat Adam, bahkan hakikat terdalam dari segala perintah dan ciptaan Tuhan.

Memang ada sementara pendapat bahwa Iblis dan anak keturunannya - yaitu syetan - adalah mahluk yang tinggi ma;rfiatnya kepada Tuhan. Alasannya adalah karena mereka telah diajak berdialog oleh Tuhan, sehingga mustahil jika mereka tidak mengenal Tuhan.

Pendapat ini mengantarkan kita pada pelancakan kita yang keempat mengenai Malaikat dan Iblis. Keduanya adalah mahluk yang menjalani takdir Tuhan dari awal sampai akhir penciptaannya. Malaikat ditakdirkan untuk menjadi mahluk yang taat, sementara Iblis ditakdirkan untuk menjadi mahluk yang membangkang.

Tetapi manusia ditakdirkan oleh Allah untuk berada di antara keduanya, yakni di antara taat dan membangkang. Maka kepada manusia diberikan kemerdekaan penuh oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri.

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (QS 13:11).

Allah memberikan fasilitas seluruhnya dengan menjadikannya khalifah kepada manusia untuk melakukan posisioningnya di dalam percaturan hidup antarmahluk. Tetapi semua pilihan itu akan mengandung konsekuensinya masing-masing. Dan perangkat posisioning diri itu adalah syariat yaitu menjadikan dirinya sebagai abdi Tuhan. Hal ini bermakna : jika manusia merendahkan dirinya dihadapan Tuhan - dengan menjadi abdi - maka Tuhan akan mengangkat derajatnya ke derajat yang mulia. Sebaliknya, jika manusia takabur, Tuhan akan merendahkan derajatnya.

Di sinilah letak relasipositif Sunah Rasul yang menyatakan : ketaatan adalah ukuranku. Artinya, Nabi Muhammad saw mnenjadikan ketaatan dalam hal melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya sebagai alat pengukur posisioning dirinya dihadapan Tuhan. Dan - sebagai pengikut - kita pun wajib menempatkan ketaatan itu sebagai ukuran posisioning kita.

Dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui.[fat].

No comments:

Post a Comment